Budaya Positif, Mulai Dari Mana?

KI Hajar Dewantara mengatakan bahwa pendidikan itu merupakan upaya menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Pendidik harus menghargai keragaman yang ada dan memerdekakan murid.

KI Hajar Dewantara juga berpesan agar pendidik tidak menyeragamkan sesuatu yang tidak bisa diseragamkan. Anak-anak tumbuh berdasarkan kodratinya yang unik. Tidak mungkin pendidik mengubah padi menjadi jagung atau sebaliknya. Perbedaan bakat dan keadaan anak serta masyarakat satu dengan lainnya harus diakomodir karena pendidik merupakan penuntun menuju kodratnya”.

Untuk mewujudkan filosofi pendidikan KI Hajar Dewantara tersebut, membangun budaya positif di sekolah yang berpihak pada kepentingan murid menjadi keharusan bagi guru bersama pemangku kepentingan lainnya. Upaya membangun budaya positif harus berpegang pada nilai dan peran guru penggerak, terutama nilai berpihak pada murid serta peran menjadi pemimpin pembelajaran, mendorong kolaborasi antar guru dan mewujudkan kepemimpinan murid. Selain itu, budaya positif yang dibangun harus didasari pada visi sekolah yang berorientasi pada upaya menanamkan karakter Profil Pelajar Pancasila.

Dalam membangun Budaya positif, guru penggerak menggunakan pendekatan disiplin positif dan nilai-nilai kebajikan universal, membangun keyakinan kelas dan menyelesaikan permasalahan murid dengan pendekatan restitusi. Selain itu, guru penggerak harus memahami kebutuhan dasar murid saat mereka berprilaku tidak pantas, menyelesaikan permasalahan murid dalam perannya sebagai manajer sehingga membangun motivasi instrinsik murid.

Sebagai pendidik, saya dan kita semua tentu harus bisa membangkitkan potensi anak sehingga ia bisa menjadi manusia seutuhnya yang selamat dan bahagia. Tidak ada murid yang nakal atau dalam bahasa kita sebagai guru “bermasalah”. Yang ada, murid atau juga kita sebagai guru dan orangtua tidak jeli membaca potensinya, sehingga potensi yang dimiliki murid tidak muncul.

Dalam konsep budaya positif, seluruh tindakan manusia memiliki tujuan tertentu. Semua yang kita lakukan adalah usaha terbaik kita untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Ketika kita mendapatkan apa yang kita inginkan, sebetulnya saat itu kita sedang memenuhi satu atau lebih dari lima kebutuhan dasar kita sebagai manusia, yaitu kebutuhan untuk bertahan hidup (survival), kasih sayang dan rasa diterima (love and belonging), kebebasan (freedom), kesenangan (fun), dan penguasaan (power). Ketika seorang murid melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan, atau melanggar peraturan, hal itu sebenarnya dikarenakan mereka gagal memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Tiga Motivasi Prilaku

Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline, menyatakan ada 3 motivasi perilaku manusia, yakni untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman, untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain dan untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilainilai yang mereka percaya. Motivasi pertama dan kedua bersifat eksternal.

Tujuan dari disiplin positif adalah menanamkan motivasi yang ketiga pada murid-murid kita yaitu untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya. Ketika murid-murid kita memiliki motivasi tersebut, mereka telah memiliki motivasi intrinsik yang berdampak jangka panjang, motivasi yang tidak akan terpengaruh pada adanya hukuman atau hadiah. Mereka akan tetap berperilaku baik dan berlandaskan nilai-nilai kebajikan karena mereka ingin menjadi orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai yang mereka hargai.

Hukuman, Konsekuensi dan Restitusi, Pilih Mana?

Hukuman bersifat tidak terencana atau tiba-tiba. Anak atau murid tidak tahu apa yang akan terjadi, dan tidak dilibatkan. Hukuman bersifat satu arah, dari pihak guru yang memberikan, dan murid hanya menerima suatu hukuman tanpa melalui suatu kesepakatan, atau pengarahan dari pihak guru, baik sebelum atau sesudahnya. Hukuman yang diberikan bisa berupa fisik maupun psikis, murid/anak disakiti oleh suatu perbuatan atau kata-kata.

Sementara disiplin dalam bentuk konsekuensi, sudah terencana atau sudah disepakati; sudah dibahas dan disetujui oleh murid dan guru. Umumnya bentuk-bentuk konsekuensi dibuat oleh pihak guru (sekolah), dan murid sudah mengetahui sebelumnya konsekuensi yang akan diterima bila ada pelanggaran. Pada konsekuensi, murid tetap dibuat tidak nyaman untuk jangka waktu pendek. Konsekuensi biasanya diberikan berdasarkan suatu data yang umumnya dapat diukur, misalnya, setelah 3 kali tugasnya tidak diselesaikan pada batas waktu yang diberikan, atau murid melakukan kegiatan di luar kegiatan pembelajaran, misalnya mengobrol, maka murid tersebut akan kehilangan waktu bermain, dan harus menyelesaikan tugas karena ketertinggalannya. Peraturan dan konsekuensi yang mengikuti ini sudah diketahui sebelumnya oleh murid. Sikap guru di sini senantiasa memonitor murid.

Sedangkan restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004) Restitusi juga adalah proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk masalah, dan membantu murid berpikir tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen, 1996).

Restitusi membantu murid menjadi lebih memiliki tujuan, disiplin positif, dan memulihkan dirinya setelah berbuat salah. Penekanannya bukanlah pada bagaimana berperilaku untuk menyenangkan orang lain atau menghindari ketidaknyamanan, namun tujuannya adalah menjadi orang yang menghargai nilai-nilai kebajikan yang mereka percayai.

Melalui pendekatan restitusi, ketika murid berbuat salah, guru akan menanggapi dengan mengajak murid berefleksi tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk memperbaiki kesalahan mereka sehingga mereka menjadi pribadi yang lebih baik dan menghargai dirinya. Pendekatan restitusi tidak hanya menguntungkan korban, tetapi juga menguntungkan orang yang telah berbuat salah. Restitusi juga sesuai dengan prinsip dari teori kontrol William Glasser tentang solusi menang-menang. Ada peluang luar biasa bagi murid untuk bertumbuh karakternya, ketika mereka melakukan kesalahan, karena pada hakikatnya begitulah cara kita belajar. Murid perlu bertanggung jawab atas perilaku yang mereka pilih, namun mereka juga dapat belajar dari pengalaman untuk membuat pilihan yang lebih baik di waktu yang akan datang. Ketika guru memecahkan masalah perilaku mereka, murid akan kehilangan kesempatan untuk mempelajari keterampilan yang berharga untuk hidup mereka.

Membangun Keyakinan Kelas

Membangun keyakinan kelas merupakan salah satu upaya membangun Budaya Positif di sekolah yang dimulai dari kelas berpijak pada nilai-nilai kebajikan yang sepakati bersama dengan murid, terutama berorientasi pada Profil Pelajar Pancasila. Untuk membangun keyakinan kelas, saya memulainya dengan berkonsultasi dengan kepala sekolah sekaligus meminta umpan balik. Kemudian saya melakukan diseminasi kepada wakil kepada warga sekolah terkait Budaya Positif yang sudah dipelajari dalam pendidikan guru penggerak. Dalam proses diseminasi, saya memulainya secara perlahan karena upaya membangun disiplin positif sejatinya merupakan membangun sebuah persepsi yang sama tentang paradigma pendidikan yang sesuai dengan filosifi KI Hajar Dewantara.

Diseminasi kepada seluruh guru SMKN 1 Rengat saya mulai dari 5 kebutuhan dasar manusia, 3 teori motivasi, perbedaan hukuman, konsekuensi dan restitusi, 5 posisi guru dan keyakinan kelas sebagai bentuk membangun budaya positif. Dalam kegiatan diseminasi tersebut saya berkolaborasi dengan sesama calon guru penggerak dari SMKN 1 Rengat, Winda Lestari, M.Pd.

Kemudian saya berkoordinasi dengan wali Kelas X MPLB 2, Wiwik Suherni untuk membangun keyakinan kelas. Kebetulan Wiwik Suherni merupakan guru Bimbingan Konseling, sehingga konsep Budaya Positif sudah dipahami. Sebelum saya membangun keyakinan kelas bersama murid, terlebih dahulu saya melakukan diseminasi Budaya Positif kepada murid secara khusus. Menurut saya, hal ini penting dilakukan agar murid mengetahui konsep budaya positif sekaligus dapat mengetahui respon murid. Pada pertemuan berikutnya barulah saya membangun keyakinan kelas bersama murid, sehingga mereka sudah mengetahui tujuan dari keyakinan kelas yang dibangun dan harapan agar motivasi instrinsik muncul dari murid. Satu point penting yang saya sepakati dengan murid bahwa membangun budaya positif adalah proses kolaborasi secara kontinue dan konsisten yang di dorong dari motivasi pribadi untuk lebih baik. Bagaimana keyakinan kelas ini berhasil? Yang pasti langkah awal sudah dibangun dan murid antusias untuk bisa bersama-sama terkoneksi dan menjadikan keyakinan kelas sebagai budaya positif keseharian mereka. Kalaupun ada yang masih menyimpang dan melanggar keyakinan kelas tersebut, rekan-rekannya harus bisa bersama-sama mengingatkan, sehingga ia merasa diterima oleh komunitas ataupun lingkungannya. ***

Rahmadi
Calon Guru Penggerak Angkatan V
SMK Negeri 1 Rengat